Jumat, 22 April 2011

TUBERKULOSIS PARU

TUBERKULOSIS PARU
I. KONSEP MEDIS

A. Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tubeculosis.

B. Proses Penularan
Tuberkulosis tergolong airborne disease yakni penularan melalui droplet nuclei yang dikeluarkan ke udara oleh individu terinfeksi dalam fase aktif. Setiapkali penderita ini batuk dapat mengeluarkan 3000 droplet nuclei. Penularan umumnya terjadi di dalam ruangan dimana droplet nuclei dapat tinggal di udara dalam waktu lebih lama. Di bawah sinar matahari langsung basil tuberkel mati dengan cepat tetapi dalam ruang yang gelap lembab dapat bertahan sampai beberapa jam. Dua faktor penentu keberhasilan pemaparan Tuberkulosis pada individu baru yakni konsentrasi droplet nuclei dalam udara dan panjang waktu individu bernapas dalam udara yang terkontaminasi tersebut di samping daya tahan tubuh yang bersangkutan.
Di   samping    penularan    melalui    saluran    pernapasan    (paling   sering),  M. tuberculosis juga dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit (lebih jarang).


C. Patofisiologi
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveoli biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil karena gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di rongga hidung dan dan tidak menyebabkan penyakit (Dannenberg, 1981 dikutip dari Price, 1995). Setelah berada dalam ruang alveolus (biasanya di bagian bawah lobus atas atau di bagian atas lobus bawah) basil tuberkulosis ini membangkitkan reaksi peradangan. Lekosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan mefagosit bakteri tetapi tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama maka lekosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala-gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya tanpa menimbulkan kerusakan jaringan paru atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui kelenjar limfe regional. Makrofag yang mengalami infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya berlangsung selama 10-20 hari.
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblas menimbulkan respon berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut yang akhirnya membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru disebut fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar limfe regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Kompleks Gohn yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin.
Respon lain yang terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan dimana bahan cair lepas ke dalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke percabangan trakeobronkial. Proses ini dapat terulang kembali pada bagian lain dari paru atau basil dapat terbawa ke laring, telinga tengah atau usus.
Kavitas kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat dengan perbatasan bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran yang ada dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui saluran limfe atau pembuluh darah (limfohematogen). Organisme yang lolos dari kelenjar limfe akan mencapai aliran darah dalam jumlah yang lebih kecil yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain (ekstrapulmoner). Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi bila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskuler dan tersebar ke dalam sistem vaskuler ke organ-organ tubuh.
D. Gambaran Klinik
Tuberkulosis sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan  bahkan kadang-kadang asimtomatik.
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala respiratorik dan gejala sistemik:
1. Gejala respiratorik, meliputi:
Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darak terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
Sesak napas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain.
Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.

2. Gejala sistemik, meliputi:
Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip demam influeza, hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek.
Gejala sistemik lain
Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta malaise.
Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.

E. Klasifikasi
Klasifikasi TB Paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik, radiologik dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini penting karena merupakan salah satu faktor determinan untuk menetapkan strategi terapi.
Sesuai dengan program Gerdunas P2TB klasifikasi TB Paru dibagi sebagai berikut:
1. TB Paru BTA Positif dengan kriteria:
- Dengan atau tanpa gejala klinik
- BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali disokong biakan positif 1 kali atau disokong radiologik positif 1 kali.
- Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru.
2. TB Paru BTA Negatif dengan kriteria:
- Gejala klinik dan gambaran radilogik sesuai dengan TB Paru aktif
- BTA negatif, biakan negatif tetapi radiologik positif.
3. Bekas TB Paru dengan kriteria:
- Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negatif
- Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru.
- Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan serial foto yang tidak berubah.
- Ada riwayat pengobatan OAT yang adekuat (lebih mendukung).

F. Terapi
Tujuan pengobatan pada penderita TB Paru selain untuk mengobati juga mnecegah kematian, mencegsah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta memutuskan mata rantai penularan.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, INH, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol. Sedang jenis obat tambahan adalah Kanamisin, Kuinolon, Makrolide dan Amoksisilin + Asam Klavulanat, derivat Rifampisin/INH. Cara kerja, potensi dan dosis OAT utama dapat dilihat pada tabel berikut:

Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu berdasarkan lokasi tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologik, hapusan dahak dan riwayat pengobatan sebelumnya. Di samping itu perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short Course  (DOTS) yang direkomendasikan oleh WHO yang terdiri dari lima komponen yaitu:
1. Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambil keputusan dalam penanggulangan TB.
2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung sedang pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki sarana tersebut.
3. Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) khususnya dalam 2 bulan pertama dimana penderita harus minum obat setiap hari.
4. Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup.
5. Pencatatan dan pelaporan yang baku.

G. Komplikasi Pneumothorax pada Tuberkulosis Paru
Pneumothorax adalah keadaan dimana terdapat udara dalam rongga pleura. Normalnya pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada. Udara masuk dalam rongga pleura melalui 3 jalan, yakni:
1. Udara atmosfir masuk ke dalam rongga pleura melalui penetrasi di dinding dada misalnya pada trauma (pneumothorax traumatik).
2. Pembentukan gas oleh mikroorganisme dalam dinding pleura pada penyakit ifeksi paru (pneumothorax spontan)
3. Pneumothorax artifisial yang sengaja dilakukan melalui tidakan pembedahan  pada trauma.
Penumothorax pada TB paru merupakan pneumothorax spontan yang timbul akibat nekrosis jaringan yang menjalar sampai pinggir jaringan parut parenkim paru, membentuk bulla yang selanjutnya robek ke dalam pleura.

Gejala Klinis Pneumothorax:
Keluhan dan gejala penumothorax tergantung pada besarnya lesi dan ada tidaknya komplikasi penyakit paru. Gejala bervariasi dari asimtomatik yang hanya dapat dideteksi melalui foto thorax sampai timbulnya gejala utama berupa rasa nyeri tiba-tiba dan bersifat unilateral. Pada pemeriksaan fisik didapatkan perkusi yang hipersonor, fremitus melemah sampai menghilang, suara napas melemah sampai menghilang pada sisi yang sakit.
Pada lesi yang lebih besar atau pada tension pneumothorax trakea dan mediastinum dapat terdorong ke sisi kontralateral. Diafragma tertekan ke bawah, pada sisi yang sakit gerakan pernapasan terbatas. Fungsi respirasi menurun sehingga dapat terjadi hipoksemia arterial dan curah jantung menurun.
Di samping berdasarkan gambaran klinis di atas, diagnosis dapat lebih meyakinkan melalui foto thorax dengan tampaknya bayangan udara dari pneumothorax yang berbentuk cembung dan memisahkan pleura parietalis dengan pleura viseralis.


II. FOKUS PENGKAJIAN KEPERAWATAN

A. Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik:
Berdasarkan klasifikasi Doenges dkk. (2000) riwayat keperawatan yang perlu dikaji adalah:
1. Aktivitas/istirahat:
Gejala:
- Kelelelahan umum dan kelemahan
- Dispnea saat kerja maupun istirahat
- Kesulitan tidur pada malam hari atau demam pada malam hari, menggigil dan atau berkeringat
- Mimpi buruk
Tanda:
- Takikardia, takipnea/dispnea pada saat kerja
- Kelelahan otot, nyeri, sesak (tahap lanjut)
2. Sirkulasi
Gejala:
- Palpitasi
Tanda:
- Takikardia, disritmia
- Adanya S3 dan S4, bunyi gallop (gagal jantung akibat effusi)
- Nadi apikal (PMI) berpindah oleh adanya penyimpangan mediastinal
- Tanda Homman (bunyi rendah denyut jantung akibat adanya udara dalam mediatinum)
- TD: hipertensi/hipotensi
- Distensi vena jugularis
3. Integritas ego:
Gejala:
- Gejala-gejala stres yang berhubungan lamanya perjalanan penyakit, masalah keuangan, perasaan tidak berdaya/putus asa, menurunnya produktivitas.
Tanda:
- Menyangkal (khususnya pada tahap dini)
- Ansietas, ketakutan, gelisah, iritabel.
- Perhatian menurun, perubahan mental (tahap lanjut)
4. Makanan dan cairan:
Gejala:
- Kehilangan napsu makan
- Penurunan berat badan
Tanda:
- Turgor kulit buruk, kering, bersisik
- Kehilangan massa otot, kehilangan lemak subkutan
5. Nyeri dan Kenyamanan:
Gejala:
- Nyeri dada meningkat karena pernapsan, batuk berulang
- Nyeri tajam/menusuk diperberat oleh napas dalam, mungkin menyebar ke bahu, leher atau abdomen.
Tanda:
- Berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, gelisah.
6. Pernapasan:
Gejala:
- Batuk (produktif atau tidak produktif)
- Napas pendek
- Riwayat terpajan tuberkulosis dengan individu terinfeksi
Tanda:
- Peningkatan frekuensi pernapasan
- Peningkatan kerja napas, penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada, leher, retraksi interkostal, ekspirasi abdominal kuat
- Pengembangan dada tidak simetris
- Perkusi pekak dan penurunan fremitus, pada pneumothorax perkusi hiperresonan di atas area yang telibat.
- Bunyi napas menurun/tidak ada secara bilateral atau unilateral
- Bunyi napas tubuler atau pektoral di atas lesi
- Crackles di atas apeks paru selama inspirasi cepat setelah batuk pendek (crackels posttussive)
- Karakteristik sputum hijau purulen, mukoid kuning atau bercak darah
- Deviasi trakeal
7. Keamanan:
Gejala:
- Kondisi penurunan imunitas secara umum memudahkan infeksi sekunder.
Tanda:
- Demam ringan atau demam akut.
8. Interaksi Sosial:
Gejala:
- Perasaan terisolasi/penolakan karena penyakit menular
- Perubahan aktivitas sehari-hari karena perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran
9. Penyuluhan/pembelajaran:
Gejala:
- Riwayat keluarga TB
- Ketidakmampuan umum/status kesehatan buruk
- Gagal untuk membaik/kambuhnya TB
- Tidak berpartisipasi dalam terapi.

B. Tes Diagnostik
Tes diagnostik yang dilakukan diuraikan pada tabel berikut:
Jenis Pemeriksaan Interpretasi Hasil
Sputum:
-Kultur
-Ziehl-Neelsen

Tes Kulit (PPD, Mantoux, Vollmer)
Foto thorax
Histologi atau kultur jaringan (termasuk bilasan lambung, urine, cairan serebrospinal, biopsi kulit)
Biopsi jarum pada jaringan paru
Darah:
-LED
-Limfosit
-Elektrolit
-Analisa Gas Darah
Tes faal paru
Mycobacterium tuberculosis positif pada tahap aktif, penting untuk menetapkan diagnosa pasti dan melakukan uji kepekaan terhadap obat.
BTA positif

Reaksi positif (area indurasi 10 mm atau lebih) menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya antibodi tetapi tidak berarti untuk menunjukkan keaktivan penyakit.

Dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru, simpanan kalsium lesi sembuh primer, efusi cairan, akumulasi udara, area cavitas, area fibrosa dan penyimpangan struktur mediastinal.

Hasil positif dapat menunjukkan serangan ekstrapulmonal


Positif untuk gralunoma TB, adanya giant cell menunjukkan nekrosis.


Indikator stabilitas biologik penderita, respon terhadap pengobatan dan predeksi tingkat penyembuhan. Sering meningkat pada proses aktif.

Menggambarakan status imunitas penderita (normal atau supresi)

Hiponatremia dapat terjadi akibat retensi cairan pada TB paru kronis luas.

Hasil bervariasi tergantung lokasi dan beratnya kerusakan paru

Penurunana kapasitas vital, peningkatan ruang mati, peningkatan rasio udara residu dan kapasitas paru total, penurunan saturasi oksigen sebagai akibat dari infiltrasi parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyaki pleural


III. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko tinggi terhadap infeksi sekunder (reaktivasi) b/d penurunan imunitas, penurunan kerja silia, stasis sekret, malnutrisi, kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen.
2. Pola pernapasan tak efektif b/d penurunan ekspansi paru (akumulasi udara, nyeri dada, proses inflamasi.)
3. Bersihan jalan napas tak efektif b/d sekresi mukus yang kental, hemoptisis, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal.
4. (Risiko tinggi) Gangguan pertukaran gas b/d penurunan jaringan efektif paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar-kapiler, edema bronkial.
5. Risiko tinggi trauma/henti napas b/d pemasangan sistem drainase dada, kurang pengetahuan tentang pengamanan drainase.
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia, peningkatan status metabolisme (penyakit kronis), kelemahan, dispnea, asupan yang tidak adekuat.
7. Kurang pengetahuan (tentang proses terapi, kemungkinan kambuh dan perawatan penyakit) b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.

IV. INTERVENSI KEPERAWATAN

4.1 Risiko tinggi terhadap infeksi sekunder (reaktivasi) b/d penurunan imunitas, penurunan kerja silia, stasis sekret, malnutrisi, kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen.
Intervensi dan Rasional:
1. Kaji fase patologis penyakit (aktif/tidak aktif) dan potensi penyebaran infeksi melalui droplet udara selama batuk, bersin, meludah, bicara, tertawa.
- Membantu klien menyadari/menerima perlunya mematuhi program pengobatan untuk mencegah reaktivasi dan komplikasi.
2. Jelaskan penyebab penyakit, proses dan upaya pencegahan penularan yang dapat dilakukan klien (Anjurkan klien untuk batuk/bersin dan mengeluarkan sekret pada tisu sekali pakai dan menghindari meludah).
- Pemahaman klien tentang bagaimana penyakit disebarkan dan kesadaran kemungkinan transmisi dapat membantu klien dan orang terdekat mengambil langkah untuk mencegah penularan kepada orang lain.
3. Identifikasi orang lain yang berisiko (anggota keluarga, teman karib)
- Orang-orang yang terpajan ini perlu program terapi obat untuk mencegah penyebaran/terjadinya infeksi.
4. Identifikasi faktor risiko individu terhadap reaktivasi tuberkulosis (alkoholisme, merokok, malnutrisi, minum obat imunosupresant/kortikosteroid, adanya penyulit DM)
- Pengetahuan tentang faktor ini membantu pasien untuk mengubah pola hidup dan menghindari hal-hal yang dapat menghambat penyembuhan penyakit.
5. Awasi peningkatan suhu tubuh klien
- Reaksi demam merupakan indikator adanya infeksi lanjut.
6. Tekankan pentingnya melanjutkan terapi obat sesuai jangka waktu yang diprogramkan.
- Fase aktif berakhir 2-3 hari setelah periode kemoterapi awal tetapi pada caverne atau lesi yang luas risiko penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan.
7. Tekankan pentingnya mengikuti pemeriksaan ulangan (kultur, BTA, foto thoraks) sesuai jadual yang ditetapkan.
- Pemeriksaan diagnostik tersebut merupakan satu-satunya alat evaluasi keberhasilan terapi, bukan berdasarkan kemajuan klinis penyakit.

4.2 Pola pernapasan tak efektif b/d penurunan ekspansi paru (akumulasi udara dalam rongga pleura, nyeri dada, proses inflamasi)
Intervensi dan Rasional:
1. Identifikasi etiologi/faktor pencetus (kolaps spontan, trauma, keganasan, infeksi, komplikasi ventilasi mekanik)
- Pemahaman penyebab kolaps paru penting untuk pemasangan WSD yang tepat dan memilih tindakan terapeutik lainnya.
2. Kaji fungsi pernapasan, catat kecepatan pernapasan, dispnea, sianosis dan perubahan tanda vital
- Distres pernapasan dan perubahan tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stres fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syok akibat hipoksia.
3. Auskultasi bunyi napas.
- Bunyi napas dapat menurun/tak ada pada area kolaps yang meliputi satu lobus, segmen paru atau seluruh area paru (unilateral).
4. Kaji pengembangan dada dan posisi trakea.
- Ekspansi paru menurun pada area kolaps. Deviasi trakea ke arah sisi yang sehat pada tension pneumothorax.
5. Kaji fremitus.
- Suara dan taktil fremitus menurun pada jaringan yang terisi cairan dan udara seperti pada pneumothorax.
6. Kaji area nyeri bila klien batuk atau napas dalam.
- Sokongan terhadap dada dan otot abdominal membuat batuk lebih efektif dan mengurangi trauma.
7. Pertahankan posisi nyaman (biasanya dengan meninggikan kepala tempat tidur). Balik ke sisi yang sakit dan dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
- Meningkatkan inspirasi minimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang sehat.
8. Bila dipasang WSD:
8.1 Periksa pengontrol penghisap, jumlah hisapan yang benar.
- Mempertahankan tekanan negatif intrapleural yang meningkatkan ekspansi paru optimum.
8.2 Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang ditentukan.
- Air dalam botol penampung berfungsi sebagai sekat yang mencegah udara atmosfir masuk kedalam pleura.
8.3 Observasi gelembung udara dalam botol penampung
- Gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan keluarnya udara dari pleura sesuai dengan yang diharapkan. Gelembung biasanya menurun seioring dengan bertambahnya ekspansi paru. Tidak adanya gelembung udara dapat menunjukkan bahwa ekspansi paru sudah optimal atau tersumbatnya selang drainase.
9. Setelah WSD dilepas, tutup sisi lubang masuk dengan kasa steril, observasi tanda yang dapat menunjukkan berulangnya pneumothorax seperti napas pendek, keluhan nyeri.
- Deteksi dini terjadinya komplikasi penting seperti berulangnya pneumothorax.

4.3 Bersihan jalan napas tak efektif b/d sekresi mukus yang kental, hemoptisis, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal.
Intervensi dan Rasional:
1. Kaji fungsi pernapasan (bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman dan penggunaan otot asesori)
- Penurunan bunyi napas menunjukkan atelektasis, ronkhi menunjukkan akumulasi sekret dan ketidakefektifan pengeluaran sekresi yang selanjutnya dapat menimbulkan penggunaan otot aksesori dan peningkatan kerja pernapasan..
2. Kaji kemampuan mengeluarkan sekresi, catat karakter, volume sputum dan adanya hemoptisis.
- Pengeluaran sulit bila sekret sangat kental (efek infeksi dan hidrasi yang tidak adekuat). Sputum berdarah bila ada kerusakan (kavitasi) paru atau luka bronkial dan memerlukan intervensi lebih lanjut.
3. Berikan posisi semi/fowler tinggi dan bantu pasien latihan napas dalam dan batuk yang efektif.
- Posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya bernapas. Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret ke dalam jalan napas besar untuk dikeluarkan.
4. Pertahankan asupan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak diindikasikan.
- Hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan sekret dan mengefektifkan pembersihan jalan napas.
5. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, bila perlu lakukan penghisapan (suction)
- Mencegah obstruksi dan aspirasi. Penghisapan diperlukan bila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.
6. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi seperti agen mukolitik, bronkodilator dan kortikosteroid.
- Agen mukolitik menurunkan kekentalan dan perlengketan sekret paru untuk memudahkan pembersihan.
- Bronkodilator meningkatkan diameter lumen percabangan trakeobronkial sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara.
- Kortikosteroid berguna pada keterlibatan luas dengan hipoksemia dan bila reaksi inflamasi mengancam kehidupan.

4.4 (Risiko tinggi) Gangguan pertukaran gas b/d penurunan jaringan efektif paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar-kapiler, edema bronkial.
Intervensi dan Rasional:
1. Kaji dispnea, takipnea, bunyi napas, peningkatan upaya pernapasan, ekspansi thorax dan kelemahan.
- TB paru mengakibatkan efek luas pada paru dari bagian kecil bronkopenumonia sampai inflamasi difus yang luas, nekrosis, efusi pleura dan fibrosis yang luas. Efeknya terhadap pernapasan bervariasi dari gejala ringan , dispnea berat dampai distres pernapasan.
2. Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat sianosis dan perubahan warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.
- Akumulasi sekret dan berkurangnya jaringan paru yang sehat dapat menggangu oksigenasi organ vital dan jaringan tubuh.
3. Tunjukkan dan dorong pernapasan bibir selama ekspirasi khususnya untuk pasien dengan fibrosis dan kerusakan parenkim paru.
- Membuat tahanan melawan udara luar untuk mencegah kolaps/penyempitan jalan napas sehingga membantu menyebarkan udara melalui paru dan mengurangi napas pendek
4. Tingkatkan tirah baring, batasi aktivitas dan bantu kebutuhan perawatan diri sehari-hari sesuai keadaan pasien.
- Menurunkan konsumsi oksigen selama periode penurunan pernapsan dan dapat menurunkan beratnya gejala.
5. Kolaborasi pemeriksaan AGD
- Penurunan kadar O2 (PaO2) dan atau saturasi, peningkatan PaCO2 menunjukkan kebutuhan untuk intervensi/perubahan program terapi.
6. Kolaborasi pemberian oksigen sesuai kebutuhan tambahan.
- Terapi oksigen dapat mengoreksi hipoksemia yang terjadi akibat penurunan ventilasi/menurunnya permukaan alveolar paru.

4.5 Risiko tinggi trauma/henti napas b/d pemasangan sistem drainase dada, kurang pengetahuan tentang pengamanan drainase.
Intervensi dan Rasional:
1. Diskusikan dengan klien tujuan/fungsi pemasangan drainase dada.
- Informasi tentang bagaimana sistem kerja dan tujuan drainase memberi rasa tenang kepada klien dan mengurangi ansietas.
2 Pastikan keamanan unit drainase (sambungan selang, kemungkinan terlepas, terlipat/tersumbat, teregang)
- Memastikan selang tidak terlepas atau teregang yang dapat menimbulkan rasa nyeri pada klien serta memastikan funsi drainase berjalan semestinya.
3. Awasi sisi lubang insersi pemasangan selang, amati kondisi kulit, ganti kasa pentup steril setiap hari atau setiap kali bila kotor atau basah.
- Tindakan deteksi dini komplikasi pemasangan drainase dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
4. Pastikan keamanan pemasangan drainase bila klien harus meninggalkan unit perawatan untuk tujuan pemeriksaan atau terapi (periksa batas cairan dalam botol, ada tidaknya gelembung udara, perlu tidaknya selang diklem sementara).
- Meningkatkan kontinuitas evaluasi optimal selama pemindahan.

4.6 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia, peningkatan status metabolisme (penyakit kronis), kelemahan, dispnea, asupan yang tidak adekuat.
Intervensi dan Rasional:
1. Kaji status nutrisi klien, turgor kulit, berat badan, dan derajat penurunan berat badan, integritas mukosa oral, kemampuan menelan, riwayat mual/muntah dan diare.
- Memvalidasi dan menetapkan derajat masalah  untuk menetapkan pilihan intervensi yang tepat.
2. Fasilitasi klien memperoleh diet biasa yang disukai klien (sesuai indikasi)
- Memperhitungkan keinginan individu dapat memperbaiki asupan nutrisi.
3. Pantau asupan dan haluaran, timbang berat badan secara periodik (sekali seminggu).
- Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan.
4. Lakukan dan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan serta sebelum dan sesudah intervensi/pemeriksaan peroral.
- Menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan, sisa sputum atau obat untuk mengobatan sistem respirasi yang dapat merangsang pusat muntah.
5. Fasilitasi pemberian diet TKTP, berikan dalam porsi kecil tapi sering.
- Memaksimalkan asupan nutrisi tanpa kelelahan dan energi besar serta menurunkan iritasi saluran cerna.
6. Kolaborasi dengan ahli diet untuk menetapkan komposisi dan jenis diet yang tepat.
- Merencanakan diet dengan kandungan nutrisi yang adekuat untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energi dan kalori sehuvungan dengan status hipermetabolik klien.
 7. Kolaborasi untuk pemeriksaan laboratorium khususnya BUN, protein serum dan albumin.
- Menilai kemajuan terapi diet dan membantu perencanaan intervensi selanjutnya.

4.7 Kurang pengetahuan (tentang proses terapi, kemungkinan kambuh dan perawatan penyakit) b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
Intervensi dan Rasional:
1. Kaji kemampuan klien untuk mengikuti pembelajaran (tingkat kecemasan, kelelahan umum, pengetahuan klien sebelumnya, suasana yang tepat).
- Keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik, emosional dan lingkugan yang kondusif.
2. Jelaskan tentang dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan dan alasan mengapa pengobatan TB berlangsung dalam waktu lama.
- Meningkatkan partisipasi klien dalam program pengobtan dan mencegah putus berobat karena membaiknya kondisi fisik klien sebelum jadual terapi selesai.
3. Ajarkan dan nilai kemampuan klien untuk mengidentifikasi gejala/tanda reaktivasi penyakit (hemoptisis, demam, nyeri dada, kesulitan bernapas, kehilangan pendengaran, vertigo).
- Dapat menunjukkan pengaktifan ulang proses penyakit dan efek obat yang memerlukan evaluasi lanjut.
4. Tekankan pentingnya mempertahankan asupan nutrisi yang mengandung protein dan kalori yang tinggi serta asupan cairan yang cukup setiap hari.
- Diet TKTP dan cairan yang adekuat memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik tubuh. Pendidikan kesehatan tentang hal tersebut meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan penyakitnya.

________________________________________




DAFTAR PUSTAKA

Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed.6, EGC, Jakarta

Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta

Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, EGC, Jakarta

Soedarsono (2000), Tuberkulosis Paru-Aspek Klinis, Diagnosis dan Terapi, Lab. Ilmu Penyakit Paru FK Unair/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.

Soeparman & Waspadji (1990), Ilmu Penyakit Dalam, BP FKUI, Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More